KEPERCAYAAN MEMPENGARUHI PERKATAAN & PERBUATAN

Resensi Kajian Tafsir Harian di MT Darul Futuh Rabu 30 Okt 2013.

Tafsir Surat As-Sajadah Ayat 10 :

وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الأرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ (10)

“Dan mereka (orang musyrik) berkata : Apakah jika kami sudah hancur dan hilang di dalam bumi (terkubur) apakah kelak kami akan diciptakan baru lagi? Mereka (tidak hanya bertanya saja) bahkan mereka mengingkari akan perjumpaan dengan tuhan mereka”.

Ulama Ahli Tafsir berkata

يَقُولُ تَعَالَى مُخْبِرًا عَنِ الْمُشْرِكِينَ فِي اسْتِبْعَادِهِمُ الْمَعَادَ حَيْثُ قَالُوا: {أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الأرْضِ} أَيْ: تَمَزَّقَتْ أَجْسَامُنَا وَتَفَرَّقَتْ فِي أَجْزَاءِ الْأَرْضِ (3) وَذَهَبَتْ، {أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ} ؟ أَيْ: أَئِنَّا لَنَعُودُ بَعْدَ تِلْكَ الْحَالِ؟! يَسْتَبْعِدُونَ ذَلِكَ، (4) وَهَذَا إِنَّمَا هُوَ بَعِيدٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى قُدْرَتهم الْعَاجِزَةِ، لَا بِالنِّسْبَةِ إِلَى قُدْرة الَّذِي بَدَأَهُمْ وَخَلَقَهُمْ مِنَ الْعَدَمِ، الَّذِي إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ} [تفسير ابن كثير ت سلامة 6/ 360]

Berkata Imam Ibnu Kastir di dalam kitab Tafsirnya :

Allah swt berfirman mengabarkan tentang orang musyrik dalam hal bahwa mereka menganggab mustahil akan hari kebangkitan yakni ketika mereka mengatakan : “apakah jika kami sudah hilang di dalam bumi” yakni badan kami sudah hancur dan tercerai berai di dalam bagian perut bumi dan sudah sirna “apakah kami sungguh akan dalam penciptaan yg baru?” yakni apakah kami akan dikembalikan setelah keadaan kami sedemikian tersebut? Mereka menganggap hal tsb tidak mungkin atau jauh dari akal manusia. Dan yang demikian ini sebenarnya sangat jauh dari akal manusia jika sandarkan dan didasarkan kepada kekuatan mereka (manusia) yg sangat lemah. Tidak demikian jika disandarkan dan didasarkan kepada Sang Pencipta mereka dari awal yg mana awalnya menciptakan mereka dari ketidakadaan, yang mana (Sang Pencipta tsb) perintahNya jika menghendaki akan sesuatu hanya cukup berkata ‘jadilah’ maka akan terjadilah hal tsb. Oleh karena itu Allah berfirman “Bahkan mereka mengingkari akan perjumpaan dengan Tuhan mereka”.

 

Komentar Saya :

 

Allah swt di dalam surat As-Sajdah setelah sejak awal menceritakan bahwa al-Quran itu adalah ajaran dan pedoman hidup yg diturunkan oleh Allah swt bagi manusia yg mana tidak ada keraguan di dalamnya dan berisi kebenaran dan mendatangkan kebenaran. Kemudian Allah swt di dalam ayat selanjutnya menceritakan bahwa Allah yg menciptakan dan mengatur langit dan bumi, yg mana hal tersebut jika kita perhatikan bahwa dengan aturan dan pedoman dari Allah lah, –  yg terkadang aturan Allah itu kita sebut dengan Istilah hukum alam (istilah ini dipopulerkan agar kita lupa akan ayat ini) yg mana seharusnya kita sebut ‘Tadbiir Robbani’ – (diambil dari ‘Yudabbirul amro’), segalanya jadi berjalan berkesesuaian dan membawa maslahat dan manfaat bagi manusia. Angin bisa sepoi-sepoi. Matahari ,  bulan dan bintang tidak bertabrakan dan tidak terlambat terbitnya. Coba manusia yg diberi hak mengatur di langit dan di bumi, pasti langit dan bumi akan kacau sebagaimana terjadi di banyak belahan bumi yg diatur manusia tidak menggunakan aturan Allah. Yg terjadi malah kekacauan, kriminal, kejahatan dst jauh dari kedamaian, aman dan kebahagiaan itu sendiri.

Kemudian Allah swt menceritakan akan bagaimana awal mula penciptaan manusia dan keturunannya.  Bagaimana asal usul bahan dasarnya yg dari situ kita bisa mengerti karakteristik manusia sebagaimana bahan dasarnya yakni tanah tembikar. Jika airnya pas dan murni mudah dibentuk. Tapi jika kecampuran pasir dan kebanyakan air pun maka akan susah dibentuk.  Allah juga menceritakan bagaimana nikmat pendengaran, penglihatan dan hati manusia yg sejak lahir terus berkembang bertahap sesuai dan seiring sejalan sebagaimana yg Allah swt telah atur. Bayangkan jika untuk masalah penglihatan saja pertumbuhan dan perkembangannya diserahkan manusia. Berapa banyak yg akan mengalami kegagalan penglihatan. Tetapi Allah telah memberikannya dan menyempurnakannya bagi kita yg tadinya ada mata sejak lahir tapi belum bisa berfungsi dan akhirnya Allah swt pula yg memfungsikan mata tersebut. Itu semua diluar campur tangan manusia, semata mata nikmat dari Allah dan bentuk kekuasaan Allah swt yg bisa kita lihat dan rasakan.

Baru kemudian Allah menceritakan akan kekufuran dan kebodohan manusia yg mengingkari akan hari kebangkitan yg seharusnya jika selama ini dia melihat, meneliti, menggunakan akalnya dan merenungi akan segala yg terjadi di alam dan dalam dirinya, tentu dia tidak akan mengingkari  hari kebangkitan dan kekuasaan Allah swt tsb. Bahkan permasalahannya mereka tidak hanya tidak meneliti dan merenung. Kalau pun mereka sudah melihat dan menyaksikan tanda kebesara Allah seperti mukjizat yg terjadi pada Rasulullah pun mereka akan tetap mengingkari akan hari perjumpaan dengan Allah swt. Hal disebabkan karena mereka terlalu mengagungkan akan akal dan logika. Dan sayangnya pendidikan generasi muda dan anak-anak kita lebih mengedepankan akal dan logika ketimbang masalah keimanan dan kepasrahan terhadap Allah swt.

Di dalam Al-Quran Allah swt mengulang perkataan dan pertanyaan yg senada dengan hal tsb, yakni masalah ketidak percayaan mereka akan hari kebangkitan dan adanya pembalasan. Seperti dalam surat yasin : {قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78)} [يس: 78]

juga dalam surat al-Waqiah {وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ (47)} [الواقعة: 47]

juga dalam surat as-Shoffat : {أَإِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ (16)} [الصافات: 16] dan beberapa tempat lagi di dalam al-Quran. Mengapa demikian karena ini adalah masalah inti dan kunci. Yakni bahwa seluruh perbuatan dan perilaku manusia itu muncul, terjadi dan terlaksana dengan baik tergantung dari system kepercayaan yg terbentuk dalam diri manusia. Dan dari ruang lingkup masalah inilah muncul semua perbuatan, karya, perilaku, penelitian, ibadah dan kemaksiatan di muka bumi. Awalnya bermula dari adanya keyakinan, kepercayaan dan keimanan akan kebangkitan dan pembalasan dari Allah swt. Atau sebaliknya karena tidak adanya keyakinan, tidak percaya dan ingkar atau persepsi yang salah akan kehidupan di dunia ini dan bagaimana nanti kesudahannya setelah kematian dan kiamat.

Gambaran sederhananya adalah jika di malam hari yg sudah larut dan sepi kendaraan ada seorang pengendara motor melewati perempatan yang lampu merahnya masih hidup dan saat itu menyala merah. Apa yg akan dia lakukan tergantung dari system kepercayaan yg ada pada diri pengendara tersebut. Jika dia yakin sudah malam ga ada yg lalu lalang dan tidak akan ada kendarakan yg tiba-tiba lewat maka dia akan menerobos lampu merah karena menurut keyakinan dan kepercayaan dia aman-aman saja kok dan lagian tidak ada polisi. Tapi jika di dalam kepercayaan dia tertanamkan bahwa terkadang polisi bersembunyi di depan dan setelah kita menerobos lampu merah dia akan menilang kita maka si pengendara tadi tentu akan bersabar menunggu lampu merah sampai berganti hijau. Padahal belum tentu benar di depan ada polisi yg menghadang dst.

Kaitannya dengan ayat ini adalah, jika setiap individu manusia yakin dan percaya bahwa dia di dalam hidup dan kehidupan ini bukan suatu kesia-siaan dan kebetulan saja, akan tetapi adalah suatu pengabdian yg akan kita pertanggungjawabkan segala detail ucapan dan perbuatan kita di hari kebangkitan dan perjumpaan dengan Allah sang Pencipta, tentu kita akan selalu perhatian, hati hati dan pertimbangan dalam setiap perilaku dan perkataan sekecil apapun hal tsb. Sebab dia yakin dan percaya bahwa di dunia ini sementara dan singkat sedangkan di akherat itu sangat panjang dan kekal sehingga dia lebih memilih bersabar mengikuti aturan perintah dan larangan dari Allah swt. Iyaa dari pada dia harus menerima siksa selama seribu tahun di akherat gara gara dia pernah bermaksiat sekali saja dalam sehari ketika dia di didup dunia wal’iyadzubillah. Bagaimana kalau dia sehari melakukan sekian kali maksiat, maka berapa lama siksa yg akan dia terima di akherat kelak…?

Dari keyakinan inilah maka tidak heran jika dikatakan kepada Sayyidina Umar bin al-Khottob yg saat itu menjabat sebagai ‘Amirul Mukminin’ : “wahai amirul mukminin, kenapa anda tidak istrihat (tidur) di siang atau di malam hari”. Maka Pemimpin orang-orang yg beriman ini dengan penuh yakin menjawab singkat : ”jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, jika aku tidur di malam hari maka aku akan menelantarkan diriku sendiri kelak di hari kiamat”. Iya Beliau karena keyakinannya yg kuat berkat pendidikan ruhani dari Rasulullah SAW maka Beliau rela bersabar mengambil keputusan sedemikian itu yakni tidak tidur siang dan malam selama menjadi kholifah. Kenapa..? Beliau yakin bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat yg dipimpinnya. Dan di malam hari pun Beliau begadang beribadah karena takut siang harinya banyak keteledoran dan dosa maka bisa ditebus dan dimintakan ampun dengan begadang di malam hari beribadah, bermunajat mengharap rahmat dan ampunan dari Allah swt.

Bagaimana dengan kita saudaraku….?? yg masih enak tidur di siang dan malam hari. Iyaa itu  karena keyakinan kita akan nikmat umur dan segala nikmat dhohir batin ini akan dipertanggungjawabkan masih rendah dan sangat minim. Bahkan terkadang kita ragu dan lupa akan pertanggungjawaban itu. Oleh karena itu Allah swt berifrman di ayat berikutnya di surat yg sama di saat mereka melihat dan menyaksikan janji Allah benar mereka meminta dikembalikan ke dunia supaya bisa beramal sholeh (as-sajdah ayat 12). Dan di ayat berikutnya Allah katakan : “rasakan lah akibat kelupaan kalian akan hari perjumpaan (pertanggungjawaban) ini”.

Semoga tulisan singkat ini bisa memacu kita untuk menambah amal sholeh dan memperhitungkan segala perbuatan dan perkataan kita. Bagaimanakah nilainya di sisi Allah..? apakah yg kita lakukan itu ada pahalanya..? wajib, sunnah atau mubahkah…?? atau kita masih tidak percaya dan terus melakukan hal hal yg mubah, makruh dan bahkan yg haram. Wal iyaazubillah.

Imam Ghozali berkata dalam kitab bidayatul hidayah : perintah wajib dari Allah itu adalah modal pokok (bagi keselamatan kita di akherat) dan amalan yg sunnah itu adalah keuntungannya. Maukah anda Jika di dalam dagang selama 10 tahun modal 10 juta ternyata setalah selama itu kita hitung hanya balik modal saja yakni masih tetap 10 jt..? bagaimana dengan umur kita yg sudah berlalu sekian lama ini..? sudah berapakah keuntungan kita yg bisa kita harapkan untuk meraih keselamatan, kebahagiaan dan derajat di Akherat..? semoga kita semua termasuk orang yg beriman dan mendapat keuntungan dengan berusaha semaksimal mungkin menjaga waktu dan mengisinya dengan amal yg sholeh. Jika keyakinan dan iman kita meningkat maka amal sholeh dan sunnah pun akan meningkat.  Waallohu a’lam. wassalam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Scroll to Top